Baca Juga
Ilustrasi (https://www.kompasiana.com/1967) |
Menurut ibu yang melahirkab Baco Malosu-losu, dari kecil
anaknya tidak bisa kena benang apalagi berpakaian, kalau dipaksa sebagai mana anak-anak yang lainnya. Badannya
panas, terus sakit dan tak bakal sembuh sebelum pakaian dilucuti dari badannya.
Hingga dewasa pun Baco Mallosu-Losu, tetap telanjang dan bisa
hidup normal bersama masyarakat
sekampung lainnya. Meskipun kemana-mana dengan kondisi telanjang,
masyarakat memakluminya. Wanita-wanita,
apalagi gadis-gadis tidak juga histeris menjauh jika ketemu si telanjang ini.
Karena meskipun telanjang Baco, tetaplah sopan dalam kelakuan, juga salah salah
anggota tubuhnya sangatlah santun walau
berhadapan dengan wanita dengan pakaian seksi dan seminim apapun.
Selain sebagai pemahat kayu tulen, Baco juga adalah pria sanggup menjaga kayu
sepotongnya dengan baik. Ia luar biasa memuliakan kayu-kayu sejengkal itu.
Karena menurutnya, kehormatan seorang pria terletak pada kayu sepotong itu. Ia
banyak menonton tayangan televisi, seseorang yang begitu terhormat bisa jatuh
hina karena tidak bisa memelihara kayu sepotong-nya. Karena kayu-kayu itu bisa
saja sembarang tunjuk, sembarang tonjok dan sembarang masuk.
Meskipun telanjang, ada juga wanita-wanita yang menyukai Baco.
Ia memang cukup gagah, posturnya meyakinkan sebagai lelaki. Sayang kaum hawa di
kampungnya menduga lain pada pria sejati ini.
“Baco itu, ganteng ya.”
“Betul badannya berotot.”
“Kulitnya juga bagus.”
“Matanya indah menawan.”
“Dadanya bidang untuk tempat bersandar.”
Begitu para wanita muda yang lagi mandi dan mencuci di sungai
pergunjingkan Baco si telanjang. Lalu salah satu yang paling centil dari mereka
nyeletuk.
“Sayangnya Baco, kurang jantan.”
“Masa.”
“Ia. Kemarin dari sungai sambil menjinjing cucian aku lewat di
depan rumahnya. Ia melihatku baik-baik. Handuk yang aku pakai kecil dan hanya
mampu menutup separuh tubuh, di bagian atas kelihatan setengah dada, kalau di
bawah hampir seluruh paha nampak. Ia hanya melihatku dengan senyum seperti biasanya,
naluri laki-lakinya tidak bereaksi.”
“Wah, kalau tidak jantan, betina ya.”
//
Desus-desus ketidakjantanan Baco si telanjang beredar diam-diam di
kalangan gadis-gadis, hingga ke ibu-ibu muda. Merekapun penasaran ingin
mengetahui kebenaran isu itu. Jangan-jangan
hoax belaka, karena sakit hati tidak
mempan menggoda Baco.
Rasa penasaran para wanita muda terhadap kejantanan Baco,
sungguh luar. Mereka tidak memilih tempat dan waktu untuk menggoda pria muda
pemahat kayu ini. Juga atas anugrah Yang Maha Kuasa, semakin hari semakin
tampanlah Baco di mata wanita-wanita itu.
Suatu ketika, pada sebuah pesta perkawinan Baco hadir dan di
keramaian ini, wanita-wanita mudapun masih lancarkan godaan terhadap dirinya.
Ia yang duduk bersila bersama tamu-tamu lain, ia disuguhi teh oleh si centil yang pernah
pergunjinkannya. Saking kencangnya godaan si centil, ia menuang the ke gelas
Baco, susunya juga seolah ikut tumpah ke mata Baco.
“Astagfirullah.”
Bukan ucapan terimas kasih yang terlontar dari mulut Baco. Tetapi
mintan ampun kepada Yang Maha Kuasa. Ia memang telah ampun tinggal di
kampungnya.
“Ibu, biarkanlah aku tinggal di hutan dan terus memahat kayu.”
Tinggallah Baco si telanjang di kaki gunung pada sebuah gubuk
dengan segala perlengkapan memahatnya. Saban hari ia masuk hutan untuk memilih
pohon yang baik untuk dijadikan patung. Tanpa sengaja, sebatang pohon itu
membuatnya tertarik, bukan saja karena naluri memahatnya yang menderu-deru,
tetapi rasa lelakinya juga ikut terdorong. Baco memeluk pohon itu dengan rasa
yang dalam.
//
Selama dua purnama Baco memahat kayunya menjadi seorng wanita cantik.
Pahatannya itu sunguh detail, semua anggota tubuh wanita lengkap dalam patung
yang dipahatnya itu. Baco membuat mata wanita itu indah, teduh dan menunduk
jika bertatapan muka dengan dirinya. Dibuatnya bulatan kelereng pada buah dada
wanita itu, tempat bayinya mengisap air susu murni. Pahanya dibuat mulus dengan
pinggul yang lapang. Terakhir, dibuatnya alat
reproduksi bagi wanita pahatannya itu.
Pahatan wanita itu kemudian diberinya pakaian lengkap. Seluruh
auratnya ditutup dengan pakaian yang layak, hingga yang Nampak hanya wajah,
telapan kaki dan telapak tangan. Namun wanita pahatannya itu diberi pula caping
pertanda bahwa ia adalah wanita desa, sebagaimana dirinya yang selalu nge-desa.
//
Baco si telanjang lalu menemui ibunya di kampong. Pada wanita
yang paling dihormatinya itu, ia sampaikan bahwa, dirinya akan menikah dengan
seorang wanita yang dicintainya. Wanita tua itu merestui keinginak anak yang
sematawayang tersebut.
Amping
Lau, 16 Desember 2017
Sumber:
https://www.kompasiana.com/1967
No comments:
Post a Comment
Komentar