Baca Juga
Oleh : Enis
Perkampungan suku adat Bunggu di Dusun Salu Raiya, Kab. Pasangkayu |
PAGI itu, Kota Pasangkayu
sangat cerah menyertai perjalanan dengan dua orang rekan saya ke sebuah tempat
yang jauh dari hiruk pikuk keramaian. Tempat yang akan kami tuju salah satu
perkampungan masyarakat Adat Suku Bunggu di wilayah pengunungan Kabupaten Pasangkayu.
Setelah menelusuri jalan beraspal sekitar 9
kilometer (km), kami memasuki perkampungan transmigrasi warga asal Bali di
Kelurahan Martajaya, dan mulai melintasi jalanan berdebu hingga nampak
persawahan dan perkebunan yang ditanami berbagai komoditi seperti kelapa dalam,
kelapa sawit dan kakao.
Seorang ibu suku adat Bunggu dan anaknya pose depan rumah mereka |
Tidak lama kemudian, kendaraan kami hentikan untuk
turun ke jalan mengabadikan gambar sebuah gerbang tapal batas yang bercorak
Adat Bali yang kiri kanannya bertuliskan 'selamat datang di PT Pasangkayu' dan
diatas tugu itu di pasangi sebuah portal pipa besi berwarna kuning hitam. Di
belakang tugu tapal batas tersebut, nampak berdiri sebuah bangunan 2x3 meter
yang merupakan pos penjagaan. Kami kemudian melanjutkan perjalanan dan mulai
menapaki bukit.
Setibanya di puncak bukit itu, kami kembali
menghentikan kendaran dan takjub dengan pandangan mata ibarat zamrud yang
berwarna hijau tua yang terbentang sejauh mata memandang pepohonan kelapa sawit
berumur sekitar 3-4 tahun merupakan peremajaan kelapa sawit yang di replandting (peremajaan) di wilayah Hak
Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan PT Pasangkayu Astra Agro Lestari (AAL)
Grup Celebes 1 (C1).
Usai melihat suasana alam tanaman remaja kelapa
sawit, perjalanan dilanjutkan dengan sesekali melihat aktifitas karyawan
perkebunan dan sesekali juga melintas kendaraan yang memuat buah kelapa sawit.
Tidak lama kemudian, kamipun berbelok dan tidak lagi menelusuri jalan umum.
Sekitar 2 kilometer dari jalan umum perusahaan perkebunan sawit, kami memarkir
kendaraan dan berjalan kaki sekitar 100 meter menuju sebuah pondok di atas
bukit dengan melintasi tanaman kelapa sawit yang masih remaja.
Seorang ibu, suku adat Bunggu pulang cari kayu |
Usai beristirahat, kami berbincang-bincang ringan
dengan pemilik pondok yang tak lain adalah salah satu tokoh masyarakat Adat
Suku Bunggu, Jaya. Jaya berbicara panjang lebar, mereka masyarakat Suku Bunggu
merasa resah dengan ulah oknum perusahaan perkebunan sawit. Selain itu, pihak
perusahaan tidak berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan mereka
(masyarakat Suku Bunggu), bahkan hak-hak mereka atas tanah-tanah ulayat dari
nenek moyang juga ikut terkikis. Ia menuturkan ketidak berdayaan orang Bunggu
yang hidup di seputaran perkebunan milik PT Pasangkayu, mereka hidup diatas
penderitaan dan kemiskinan.
"Rasanya kami ini belum nikmat kemerdekaan di
tengah keberadaan perusahaan perkebunan."
Dikatakan Jaya, dalam kronologi keberadaan PT
Pasangkayu sebelum HGU-nya diolah menjadi kebun, masyarakat Bunggu sudah
mendiami lokasi ini secara turun temurun, dan mereka hidup dari berkebun serta
memanfaatkan hasil hutan dari lingkungan sekitar.
"Salah satu bukti kalau kami lebih dulu mendiami
wilayah ini dari pada perusahaan dengan adanya tempat pemakaman umum (TPU)
masyarakat Bunggu. Terbitnya HGU perusahaan di tahun 1991, sementara tempat
pemakaman itu sudah ada sejak awal tahun 1980-an."
Usai berbincang-bincang, kami dan Jaya beserta warga
masyarakat adat lainnya menuju TPU yang tak jauh dari pondok itu. Salah satu
makam yang di perlihatkan Jaya, adanya makam yang tertulis atas nama Dei
dimakamkan tahun 1986, dan diantara makam itu ditanami pohon sawit oleh
perusahaan perkebunan. Usai dari TPU masyarakat adat, kami menuju kendaraan
untuk melanjutkan perjalan ke salah satu pemukiman warga masyarakat Adat Suku
Bunggu yang berjarak sekitar 500 meter, tepatnya di Dusun Salu Raiya.
Saat kami tiba di perkampungan yang di huni
sekitar 44 kepala keluarga (KK), Dusun Salu Raiya berbatasan langsung dengan
areal HGU Perkebunan Besar Sawit (PBS) PT Pasangkayu. Memasuki wilayah
perkampungan, kendaraan berjalan dengan pelan dan sesekali memperhatikan rumah
yang berjejer hingga ujung kampung, dimana umumnya rumah panggung dengan tinggi
dari tanah ke lantai rumah sekitar 1 meter yang dindingnya dari papan dan
beratapkan daun sagu. Setibanya di ujung kampung tersebut, kami turun dari
kendaraan dan melihat perkampungan itu jauh dari hiruk pikuk keramaian dan nampak
suasana damai menghiasi walau mereka jauh dari kehidupan mewah.
Saat kami lagi mengabadikan gambar, terlihat
seorang wanita keluar dari pepohonan memangkul seikat kayu bakar bersama
anaknya, dan itulah salah satu kehidupan keseharian masyarakat Adat Suku Bunggu
memanfaatkan alam dalam kehidupan sehari-harinya. Pantauan kami, fasilitas umum
yang ada di perkampungan itu hanya sebuah tempat ibadah, posyandu dan Bantayang
(balai pertemuan).
Kami juga tidak melihat adanya tiang listrik
apalagi kabel aliran listrik ke rumah-rumah warga dalam menunjang penerangan
rumah mereka. Dalam benak saya, indahnya mata memandang pepohonan sawit yang
masih remaja dari puncak bukit di wilayah perkebunan PT Pasangkayu, tak
se-indah memandang jejeran rumah warga di salah satu perkampungan masyarakat
Adat Suku Bunggu. Dan tak terasa, waktu sudah menunjukan sekitar pukul 11 siang
dan kamipun bergegas kembali ke Kota Pasangkayu. (*)
No comments:
Post a Comment
Komentar