Cari di Blog Ini

Followers

Thursday, August 30, 2018

Jaya dan Perkampungan Suku Adat Bunggu di Dusun Salu Raiya

Baca Juga

Oleh : Enis

Perkampungan suku adat Bunggu di Dusun Salu Raiya, Kab. Pasangkayu
Perkampungan suku adat Bunggu di Dusun Salu Raiya, Kab. Pasangkayu

PAGI itu, Kota Pasangkayu sangat cerah menyertai perjalanan dengan dua orang rekan saya ke sebuah tempat yang jauh dari hiruk pikuk keramaian. Tempat yang akan kami tuju salah satu perkampungan masyarakat Adat Suku Bunggu di wilayah pengunungan Kabupaten Pasangkayu.

Setelah menelusuri jalan beraspal sekitar 9 kilometer (km), kami memasuki perkampungan transmigrasi warga asal Bali di Kelurahan Martajaya, dan mulai melintasi jalanan berdebu hingga nampak persawahan dan perkebunan yang ditanami berbagai komoditi seperti kelapa dalam, kelapa sawit dan kakao.

Seorang ibu suku adat Bunggu dan anaknya pose depan rumah mereka
Seorang ibu suku adat Bunggu dan anaknya pose depan rumah mereka

Tidak lama kemudian, kendaraan kami hentikan untuk turun ke jalan mengabadikan gambar sebuah gerbang tapal batas yang bercorak Adat Bali yang kiri kanannya bertuliskan 'selamat datang di PT Pasangkayu' dan diatas tugu itu di pasangi sebuah portal pipa besi berwarna kuning hitam. Di belakang tugu tapal batas tersebut, nampak berdiri sebuah bangunan 2x3 meter yang merupakan pos penjagaan. Kami kemudian melanjutkan perjalanan dan mulai menapaki bukit.

Setibanya di puncak bukit itu, kami kembali menghentikan kendaran dan takjub dengan pandangan mata ibarat zamrud yang berwarna hijau tua yang terbentang sejauh mata memandang pepohonan kelapa sawit berumur sekitar 3-4 tahun merupakan peremajaan kelapa sawit yang di replandting (peremajaan) di wilayah Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan PT Pasangkayu Astra Agro Lestari (AAL) Grup Celebes 1 (C1).

Usai melihat suasana alam tanaman remaja kelapa sawit, perjalanan dilanjutkan dengan sesekali melihat aktifitas karyawan perkebunan dan sesekali juga melintas kendaraan yang memuat buah kelapa sawit. Tidak lama kemudian, kamipun berbelok dan tidak lagi menelusuri jalan umum. Sekitar 2 kilometer dari jalan umum perusahaan perkebunan sawit, kami memarkir kendaraan dan berjalan kaki sekitar 100 meter menuju sebuah pondok di atas bukit dengan melintasi tanaman kelapa sawit yang masih remaja.

Seorang ibu, suku adat Bunggu pulang cari kayu
Seorang ibu, suku adat Bunggu pulang cari kayu

Diatas pondok tersebut, menunggu seorang lelaki paruh baya menikmati rokok dan secangkir kopi. Melihat kedatangan kami bertiga, lelaki paruh baya itu menyapa kami dengan ramah dan mempersilahkan untuk naik ke pondok beristirahat. Tiba diatas pondok, sayapun tidak langsung duduk, tetapi melihat kebawah bukit dan sekeliling pondok tanaman pohon sawit remaja, dimana juga nampak di kejauhan pohon sawit yang tinggi berbuah.

Usai beristirahat, kami berbincang-bincang ringan dengan pemilik pondok yang tak lain adalah salah satu tokoh masyarakat Adat Suku Bunggu, Jaya. Jaya berbicara panjang lebar, mereka masyarakat Suku Bunggu merasa resah dengan ulah oknum perusahaan perkebunan sawit. Selain itu, pihak perusahaan tidak berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan mereka (masyarakat Suku Bunggu), bahkan hak-hak mereka atas tanah-tanah ulayat dari nenek moyang juga ikut terkikis. Ia menuturkan ketidak berdayaan orang Bunggu yang hidup di seputaran perkebunan milik PT Pasangkayu, mereka hidup diatas penderitaan dan kemiskinan.

"Rasanya kami ini belum nikmat kemerdekaan di tengah keberadaan perusahaan perkebunan."

Dikatakan Jaya, dalam kronologi keberadaan PT Pasangkayu sebelum HGU-nya diolah menjadi kebun, masyarakat Bunggu sudah mendiami lokasi ini secara turun temurun, dan mereka hidup dari berkebun serta memanfaatkan hasil hutan dari lingkungan sekitar.

"Salah satu bukti kalau kami lebih dulu mendiami wilayah ini dari pada perusahaan dengan adanya tempat pemakaman umum (TPU) masyarakat Bunggu. Terbitnya HGU perusahaan di tahun 1991, sementara tempat pemakaman itu sudah ada sejak awal tahun 1980-an."

Usai berbincang-bincang, kami dan Jaya beserta warga masyarakat adat lainnya menuju TPU yang tak jauh dari pondok itu. Salah satu makam yang di perlihatkan Jaya, adanya makam yang tertulis atas nama Dei dimakamkan tahun 1986, dan diantara makam itu ditanami pohon sawit oleh perusahaan perkebunan. Usai dari TPU masyarakat adat, kami menuju kendaraan untuk melanjutkan perjalan ke salah satu pemukiman warga masyarakat Adat Suku Bunggu yang berjarak sekitar 500 meter, tepatnya di Dusun Salu Raiya.

Saat kami tiba di perkampungan yang di huni sekitar 44 kepala keluarga (KK), Dusun Salu Raiya berbatasan langsung dengan areal HGU Perkebunan Besar Sawit (PBS) PT Pasangkayu. Memasuki wilayah perkampungan, kendaraan berjalan dengan pelan dan sesekali memperhatikan rumah yang berjejer hingga ujung kampung, dimana umumnya rumah panggung dengan tinggi dari tanah ke lantai rumah sekitar 1 meter yang dindingnya dari papan dan beratapkan daun sagu. Setibanya di ujung kampung tersebut, kami turun dari kendaraan dan melihat perkampungan itu jauh dari hiruk pikuk keramaian dan nampak suasana damai menghiasi walau mereka jauh dari kehidupan mewah.

Saat kami lagi mengabadikan gambar, terlihat seorang wanita keluar dari pepohonan memangkul seikat kayu bakar bersama anaknya, dan itulah salah satu kehidupan keseharian masyarakat Adat Suku Bunggu memanfaatkan alam dalam kehidupan sehari-harinya. Pantauan kami, fasilitas umum yang ada di perkampungan itu hanya sebuah tempat ibadah, posyandu dan Bantayang (balai pertemuan).

Kami juga tidak melihat adanya tiang listrik apalagi kabel aliran listrik ke rumah-rumah warga dalam menunjang penerangan rumah mereka. Dalam benak saya, indahnya mata memandang pepohonan sawit yang masih remaja dari puncak bukit di wilayah perkebunan PT Pasangkayu, tak se-indah memandang jejeran rumah warga di salah satu perkampungan masyarakat Adat Suku Bunggu. Dan tak terasa, waktu sudah menunjukan sekitar pukul 11 siang dan kamipun bergegas kembali ke Kota Pasangkayu. (*)

No comments:

Post a Comment

Komentar

Hak Cipta: @lenterasulawesi . Powered by Blogger.