Baca Juga
Kuburan kerabat masyarakat adat Bunggu di lokasi perkebunan sawit |
PASANGKAYU, lenterasulawesi - Sabtu (25/08/2018), puluhan masyarakat adat Bunggu di Dusun Saluraya, Desa Martasari, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat berkumpul di atas ketinggian pada sela-sela perkebunan sawit. Mereka membersihkan makam keluarganya yang telah puluhan tahun usianya.
Diantara mereka ada Jaya, Neso, Naru dan Amiruddin Dahlan.
Jaya adalah seorang tokoh adat Suku Bunggu yang juga saat ini masih menjabat
Kepala Desa Pakawa. Neso, kepala dusun setempat dan Amiruddin, pemerhati dan
penggiat suku adat Bunggu. Sedangkan Naru adalah kerabat mereka dan juga pemuka
adat.
Penuh perasaan, Jaya mengais rumput dan menunjukkan sebuah
nisan, disitu tertulis nama Dei, meninggal bulan 11 tahun 1986. Jaya, katakan
anaknya itu meninggal saat masih bayi, sehingga namanya hanya “Dei” dalam
bahasa mereka anak perempuan, serupa “Becce” dalam Bugis Makassar.
“Kuburan keluarga ini menunjukkan kalau kami pernah
tinggal bermukim di sini. Sebab
kebiasaan kami masyarakat adat Bunggu, apabila ada keluarga dan kerabat yang
meninggal, biasanya dikubur di belakang rumah,” tutur Jaya dengan mimik sedih.
Ketika dipertanyakan, kenapa lokasi pemakaman keluarga
dipenuhi pohon-pohon sawit. Mereka serentak
menjawab bahwa itu adalah pohon pohon Elais Guinensiss Jacq dari Afrika
Barat itu ditanam oleh PT. Pasangkayu, anak perusahaan dari PT Astra
Agro Lestari (AAL). Jaya lalu bertutur panjang, bahwa pada awal tahun 1990-an,
perusahaan Perkebunan Besar Sawit (PBS) masuk ke daerah ini. Ketika itu Jaya,
sudah berusia 40-an lebih usianya, ingatanya masih segara. Atas nama Hak Guna
Usaha (HGU) PBS tersebut merensek ke
pemukiman masyarakat adat Bunggu di pemukiman mereka di Saluraya.
“Termasuk lokasi pemakaman keluarga kami ini ikut ditanami
sawit. Kami tidak berdaya untuk protes karena harus berhadapan dengan aparat
yang bersenjata. Kami diam dan pasrah,” kata Jaya sedih.
Kesedihan Jaya, ikut pula diaminin oleh Neso sang Kepala Dusun
Saluraya, Neru dan Amiruddin Dahlan yan telah puluhan tahuh bekerja bersama
masyarakat Bunggu. Mereka sedih karena tanah-tanah dimana mereka bisa hidup dan
menyatuh dengan alam yang damai, telah diaduk-aduk oleh PBS. Itu membuat mereka
seperti tamu di tanah dikelahirannya.
“Kasarnya, mereka ini terjajah di atas tanah tumpah darahnya
sendiri. Tanah-tanah dimana mereka biasa menanam sumber pangan telah diklaim
perusahaan sebagai HGU. Kalau melawan, ya harus berhadapan dengan petugas.
Akhirnya mereka hidup melarat di pinggir-pinggir saja,” kata Amir.
Pemukiman masyarakat adat Bunggu di Dusun Saluraya |
Selain habitat mereka diaduk-aduk oleh PBS, kepedulian sosial
perusahaan yang disebut Corporate Social Responsibility (CSR) tidak menyentuh mereka secara detail. Walau dampak lansung atas PBS mereka rasakan,
misalnya perubahan faktor ekologi alam, sungai tak lagi bersih sebagai sumber
air dan ikan. Juga menghilangkan potensi hutan, seperti durian dan buah-buahan
hutan lainnya yang bisa berpotensi ekonomi bag masyarakat Bunggu.
Kadus Neso juga sampaikan kesedihan lain, bagaimana masyarakat
adat Salauraya begitu lemah posisinya di mata PBS. Karena menurut pria paruh
baya ini, andainya PBS peduli akan keberadaan masyarakat adat, dari awal sudah
dilibatkan dalam pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat), dimana mereka bisa
mengelola lahan sebagai plasma dari PBS. Sehingga terjadi keseimbangan dalam
pengelolaan lahan yang tentunya akan jalin keharmonisaan antara masyarakat loka
dan PBS.
Hal ini turut diperkuat oleh Amiruddin, karena menurutnya,
selama ini tidak ada keselarasan komunikasi dan kerjasama antara pihak perusahaan
dan masyarakat. Karena selalu tercipta jurang pemisah dintara dua kutub ini.
Tentu akan menjadi problem secara terus menerus.
“Sejatinya, pihak perusahaan menjadi bapak angkat bagi
masyarakat adat. Sehingga masyarakat lokal ini, tidak semakin terpuruk.
Ekonominya bisa diangkat untuk macapai kesejahteraan yang lebih baik,” tandas
Amiruddin.
LS
No comments:
Post a Comment
Komentar