Baca Juga
Adam Kawilarang |
Dulu dia aku selalu sapa dengan nama samaran Adam Kawilarang.
Singkat kata, aku menghambur mendekatinya da segera menyapa namanya dengan
sumringah.
Saya : Assalamu alaikum Daeng, sontak Pak Adam berbalik dan
kontan balas terika sambil berdiri bergegas dari amben teras tempat ia duduk,
menghambur pula dan “bug”. Berpelukan kencang, aku merengkuh tubuh sahabatku itu. Beberapa
kejap kami berpelukan dan setelah lerai, nyata terlihat butiran bening di sudut
matanya…
“Wa Alaikumussalam. Andikku, balasnya kemudian sembari menuntunku
menuju rumahnya .
Saya (penulis): Alhamdulillah
Daeng, kita ketemu kembali setelah nyaris 12 tahun terpisah.”
Adam Kawilarang : Iyye
andi, sejak saya tinggalkan Polman, saya menetap disini, negri damai ini
membuatku jarang memupuk bakat avonturirku seperti dulu.
Kemudian kami mulai terlibat merambah kenangan, menelisik
momentum terbaik dalam persahabatan dan keterikatannkami dahulu sebagai pekerja
jurnalistik, hingga pada titik tertentu saya mempertanyakan bendera Partai Perindo yang
menempel di dinding rumah kostnya.
Saya ( penulis ): Sekarang Daeng berpartai, tanyaku mulai
masygul.
Adam : Panjang ceritanya andi, kenapa sampai saya mencebur
lebur kedalam partai Perindo dan bahkan disodor sebai Caleg.
Adam menghela nafas
panjang sejenak, lalu menekur seolah mengorek sesuatu di nuraninya.
Saya : Itu artinya saya
saat ini telah kehilangan seorang pendekar jurnalistik daeng, sekaligus pula daeng akan
segera bertarung dalam peradaban politik yg buas nan ganas, sergahku. Toch memang sayalah yang kembali
merasa akan sangat berjarak dengan beliau yang bukan saja sahabatku, bahkan
beliau telah kunobatkan sebagai saudara sekaligus guru di dunia jurnalistik yang
kugeluti.
Adam : Tidak sama sekali, tidak seperti itu dik, saya ini tetap seteguh
dahulu, belum terbeli sedikitpun idealisme yang dulu kita bangun berdarah-darah.
Matanya berkaca-kaca saat ia memungkas kalimatnya.
Saya (penulis): Sejatinya daeng, tentu tahu bahwa yang namanya kontestasi politik itu perlu coast. Bahkan untuk sukses mesti bergelimang
sungguh-sungguh dengan money politic
atau sogok.
Adam : Insya Allah
tidak dik, sejauh ini saya yakin bahwa mereka memintaku maju mewakilinya di
daerah pemilihan 4 karena mereka memiliki kesadaran yang tinggi tentang bahaya money politic.
Tuturnya dengan mimik serius,dan seingatku tampilannwajah
seperti ini pernah saya lihat ketika ia mempertaruhkan nyawa untuk kepentingan
masyarakat SP V Sarudu,atau warga Dusun Majene.
Saya : Maaf daeng, karena saya bertanya soal itu.
Adam: Ach sudahlah dik,
semua akan baik-baik saja, jika kelak akhirnya rakyat memilihku, semoga
bukanlah karena money politic atau
karena urusan masa lalu yang adik sitir tadi. Saya berharap, kiranya masyarakat memilihku tersebab kebutuhan
dan keyakinannya bahwa mereka memilih orang yang tepat untuk membela dan
mengantar kebutuhan dan hak dasarnya kehadapan keluarga mereka, di dalam
lingkungan mereka, ke dalam rumah tangga mereka.
Sayapun terdiam beberapa jenak,lalu menyeruput kopi panas
bikinan nyonya rumah (Istri pak Adam atau SUAMIN RAHIM KARAENG SITABA ) lantas
melanjutkan obrolan rindu kami hingga akhirnya saya pamit .
Dalam hati kecilku sungguh saya berharap, kiranya orang baik
sepertinyalah yang dipilih rakyat, biarlah dunia menabuhkan genderang politik
uang, namun saya percaya ia mampu tundukkan denga beragam siasat dan
kehandalannya, seperti dulu saat ia membebaskan Desa Sipakainga.
(penulis: sastrawan patahpena)
No comments:
Post a Comment
Komentar