Baca Juga
Ilustrasi (sumber: kompasiana.com/1967)
|
SEPERTI
serigala melolong di malam bulan purnama empat belas terbit, La Rakkala Pekko
Ulu tak kuasa menahan marah. Hatinya panas bukan kepala menahan hina atas
dirinya yang tak rupawan. Andai mungkin dirinya bisa, maka Dewata pun akan
digugatnya.
Pria
peladang ini terus meradang dalam gubuknya di malam yang hampir fajar, dadanya
ditepuk-tepuk tanda menyesali diri. Sesekali ia mengintip lewat jendela
gubuknya yang tak berdaun. Jauh di langit yang mulai keputih-putihan, bintang
meredup dan satu-satu menghilang. Ia semakin perih mengingat sehari yang lalu,
anak gadis kepala kampong meludah di depannya, sambil menutup hidung.
"Wajahku
memang jelek tapi tubuhku tidak busuk, apalagi hatiku. Oh Dewata, bantulah
diriku ini. Bertanggungjwablah telah merestui kelahiranku di mayapada
ini."
La
Rakkala terus membatin kakinya dihentak-hentak ke lantai tanah rumahnya.
Dadanya dicakar-cakar sendiri dengan jari-jari tangannya yang kasar. Hingga
lelah pria peladang ini mencabik-cabik perasaannya. Trus tumpahlah dalam
mimpinya.
//
La
Rakkala Pekko Ulu, trus berjalan hingga batas mata memandang. Ia terus
membayangkan We Bitara Mappedda Uleng, putri kepala kampung yang cantiknya tak
tertandingi. Lehernya putih dan bening, kalau minum seolah kelihatan air
mengalir. Betisnya bagaikan batang padi, hidung mancung dengan bibir basah
merah merekah. Matanya bening di bawah alis yang bagikan semut hitam beriring.
"We
Bitara, aku akan adukan penghinaanmu pada Dewata Tuhanku."
Pria
peladang itu terus berjalan dan membatin. Ia akan mencari Dewata tempatnya
mengadukan rasa sakit dan perih atas sebongkah daging dalam rongga dada.
Kaki-kakinya terus melangkah, menerabas duri dan onak. Detik berganti menit
hingga ke jam. Berhari-hari pria berwajah kurang tampan ini terus melangkah
lewati lembah, gunung, dan belantara. Hingga tenaganya terus bertambah, membuat
dirinya seolah menjadi batu karang yang atos. La Rakkala Pekko Ulu, benar-benar
telah jadi sebongkah batu penasaran.
//
"Rakkala Pekko Ulu, bangunlah anakku dari
tapamu. Aku sudah dah tahu rasa sakit dalam dadamu."
Suara
menggelegar dari langit disertai kilat dan gerimis dingin. La Rakkala Pekko Ulu
yang membatu dalam tapanya, perlahan bergerak. Ada kekuatan cinta dalam dada
pria ini, membuatnya terus bergerak menuju seorang lelaki tua yang berjarak
lima depa darinya.
"Anakku,
terimalah ini, jimat pemanis Naga Sikoi."
Dengan
tangan gemetar pertanda suka dan gembira La Rakkala Pekko ulu menerima jimat
Naga Sikoi dari sang lelaki tua. Ia terus pandangi barang yang dibungkus kain
hitam dengan tali merah yang ada di tangannya.
Dengan
muka yang melongo, Rakkala memandangi sang lelaki tua penuh penasaran. Namun
penasarannya belu terjawab, lelaki tua menggenggam tangannya lalu bacakan
matera.
"Camkan
baik-baik manteranya anakku La Rakkala."
"iyye
Puang."
"Bakengkeng
bakongkong, barakka kompai banna motoroka kilampa manontong ri bioskop
paramoung."
//
Aku
tidak tahu, kenapa istriku Shinta tiba-tiba saja lebih kasar dari biasanya,
bahkan seolah ia menjadi Shinto. Belum sempat aku buka pakaia kerja, ia sudah
melalap pipiku dengan ciuman-ciumannya. Bukan, ciuman mesra da lembut, tetapi
panas dan ganas, bahkan bibirku yang tenang-tenang saja ikut pula dilabraknya
dengan dasyat.
"Waduh,
ada apa ini Shin."
Aku
protes, tetapi Shinta semakin menjadi-jadi saja, ia bahkan menarik tanganku dan
melingkarkan di badannya. Ia juga semakin rapatkan badannya ke tubuhku yang
baru saja ganti baju, tinggal singlet dan celana boxer.
"Aku
mau minum teh hangat Shin."
Shinta
tidak perduli, ia tarik diriku masuk dalam kamar dan trus mendorongku ke tempat
tidur. Masih dalam suasana tak bergeming Shinta trus merambah tubuhku dengan
jari-jari halusnya. Seperti kerbau dicocor hidung aku menurut saja. Sebab aku
memang sayang istri. Usia pernikahan kami baru seumur jagung. wajar saja Shinta
begitu setelah 2 hari aku dinas luar kota.
Daripada
aku menyinggung perasaan Shinta tersayang, kupersiapkan dirilah atas segala
sesuatu yang bakal terjadi di hampir tengah malam itu. Aku juga telah ada
persiapan 2 mangkuk cota plus 4 biji ketupat andai Shinta terus menyerangku.
"Shintaaa."
"Yaaa."
Shinta
menjawab pelan dengan tatapannya yang membuat diriku hanyut semakin ke hilir.
Saat segala sesuatunya telah siap dan jangkar telah dibuang, kapal telah
berlabuh dengan tenang. Shinta bernapas panjang sambil terus memeluk diriku.
Kami senang dan bahagia.
"Kak,
aku menemukan sesuatu dalam dompetmu. Aku telah membakarnya barusan, sebelum
kamu datang. Hik hik hik."
Shinta
terus tertawa dengan lucunya sambil perlihatkan kain hitam pembungkus jimat
Naga Sikoi milikkku. Isinya telah musnah dibakar oleh Shinta, entah dimana lagi
dibuang debu-debunya.
"Aduh,
Shinta."
"Aduh,
apa. Dulu kamu taklukan aku dengan jimat itu kan. Kini kakak aku taklukan
barusan."
Lalu
berdua kami berpelukan dan dan tertawa menuju malam yang semakin larut. Kami
bahagia, dunia ini hanya aku dan Shinta yang punya, yang lain cuma numpang.
Amping
Gunung, 9 Maret 2018
Sumber: https://www.kompasiana.com/196
No comments:
Post a Comment
Komentar