Baca Juga
Ilustrasi (dok: https://www.kompasiana.com/1967) |
“Mudah-mudahan Noval yang tiba lebih duluan.”
Kata hati Noni, harapkan kekasihnya itu yang lebihdulua tiba
dari yang lain. Ada sesuatu yang ingin disampaikan wanita berambut sebahu itu.
Ia ingin memberikan kecupan pertama pada Noval, bukan di tangan, sebagaimana
biasa ia lakukan pada senir pendakinya itu. Tetapi bibir sensualnya akan
dilengketkan di bibir Noval di bawah kumis tipis.
Benar saja, dari sela-sela rimbun pepohonan, pria gondrong
dengan ikat kepala muncul. Noni sangat mengenal rambut gondrong yang ikal itu,
milik noval pujaannya. Lalu semakin mendekat, tubuh atletis itu semakin nyata.
“Noni, yang lain masih tertinggal di bawah. Ridwan sakit
perut.”
Suara Noval sedikit tertahan, ia perlu atus napas. Bukan
karena letih melangkah menuju ketinggian Gunung Bawakaraeng, tetapi jatungngnya
memburu saat Noni, melangkah mendekati dirinya. Semakin dekat hingga dada
mereka nyaris bersentuhan.
“Noval.”
“Noni.”
Keduanya saling
menyebut nama lalu terdiam. Entah apa
terjadi, tiba-tiba saja Noval mengerang kesakitan sadarkan diri. Matanya
melihat kelililing, ruangan bercat putih dengan lampu-lampu terang.
//
“Jangan banyak bergerak. Kakinya baru saja dikasi gips,”
Seorang wanita berpakaian putih-putih menenangkan Noval yang
gelisah menahan sakit. Ia belum sepenuhnya paham, tiba-tiba seluruh tubuhnya
terasa nyeri dan kepalanya masih pusing.
“Anda baru saja terjatuh dari motor.”
Perawat itu kembali tenangkan kasadaran Noval kemudian
memperbaiki slang infus yang melekat di
pungung telapak tangan Noval. Noval mulai mengingat, bukankah ia baru
saja pulang dari rumah Noni di jalan Gunung Bawakareng, Kota Makassar.
//
Pria separuh baya itu tidak bisa menolak ketika teman-teman
sehobbynya, mendaki gunung, menyebutnya Bujang Lapuk Kepala Batu, alias Bulangkepat. Karena ia
memang mempertahankan kesendiriannya, semenjak mengalami trauma berat pada Pos
3 menuju puncak Gunung Bawakaraeng. Di
tengah kabut dan angin kencang, kekasihnya Noni, menghilang.
Noni baru diketemukan
sehari kemudian oleh warga pencari kayu.
Kondisinya cukup mengenaskan, ia tersangkut di sebuah pohon besar. Pada
situasi ini Noval tidak dapat kendalikan diri, hatinya hancur
berkeping-keping ditinggal sang kekasih.
Untuk mengobati sakitnya, Noval memilih untuk tinggal di Jalan
Gunung Bawakaraeng. Sepulang kerja sebagai redaktur pada salah salah atu harian di kotanya. Ia
banyak menelusuri jalan protokol itu
mencari wanita-wanita single yang bernama Noni. Tidak terkecuali mengaduk-gaduk
nama warga yang ada di kelurahan setempat.
Ratusan Noni telah diketemukannya, namun semuanya telah
bersuami. Itulah yang membuatnya menjadi pria Bulangkepat. Hingga akhirnya
bertemua janda beranak satu di sebuah
warung kopi. Ternyata, janda ini adalah pemilik warung.
Dua, tiga bulan Noval, sepulang kerja, ia habiskan waktunya di
warung kopi janda beranak satu itu. Namun ia tidak pernah berkenalan secara
lansung. Yang membuat Noval menghabiskan
waktu luangnya di warung itu adalah senyum pemiliknya. Kayak senyum pendaki
gunung, tajam dan membus kabut.
“Dimanaki tinggal.”
“ Di jalan Gunung Bawakaraeng.”
“Oh, samaki itu.”
Karena warung kopi itu mau tutup, tinggal Noval satu-satunya
pelanggan yang belum habiskan kopinya. Makan pemilik warung berbasa-basi, Tanya
tempat tingga Noval. Kala itu hujan lagi deras mengguyur bumi.
“Sama siapaki pulang.”
“Sendiri.”
“Ada yang jemputki.”
“Tidak ada.”
Pemilik warung lalu ceritakan kalau ia hanya tinggal berdua
dengan anaknya. Suaminya meninggal dalam sebuah tragedi di Gunung Bawakaraeng.
Ketika hamil muda, ia ingin berdua dengan suaminya di Pos 3 Gunung Bawakaraeng
dimana mereka untuk pertama kalinya rasakan kecupan bibir. Namun suaminya
hilang saat kabut dan angin kencang.
“Jadi dulu, waktu masih mudaki, pendaki gunungki juga.”
“Betul, almarhum suamiku juga pendaki gunung.”
Obrol punya obrol antara Noval dan pemilik berjalan. Hingga
keduanya tidak sadar, kalau malam telah larut. Hujan juga terus mengguyur bumi,
bersambung-sambung.
“Saya Noval.”
Noval perkenalkan diri, bahwa ia juga pendaki gungung di waktu
muda. Memilih untuk membujang karena kehilangan kekasih di Gunung Bawakaraeng.
Ia juga memilih tinggal di jalan Gunung Bawakaraeng untuk mengenang kekasih
yang disayanginya itu.
“Saya Noni.”
Pemilik warung juga perkenalkan diri, keduanya bersalaman tanda
perkenalan dimulai, saat Noni mulai menutup pintu-pintu warung kopinya, noval
beranjak hendak pamit. Namun Noni menahannnya dengan menarik tangan Noval masuk
warung kembali.
“Samapaki pulang.”
“Hujanki.”
“Tidak apa-apa kita berhujan-hujan saja.”
Keduanya sepakat boncengan disaat hujan masih deras. Dalam
suasana basah kuyup, Noval merasakan telah menemukan Noninya kembali. Sentuha
halus di punggung membuatnya yakin, Noni
inilah yang dicari-carinya selama ini.
Ia rasa hidupnya, lebih hidup lagi. Apalagi saat Noni, melingkarkan kedua
tangan di perutnya, membuat, hidup lebih hidup dan semakin tegar menembus hujan.
Amping Lau, 21 Desember
Sumber: https://www.kompasiana.com/1967
No comments:
Post a Comment
Komentar