Cari di Blog Ini

Followers

Saturday, September 8, 2018

Kecupan Noni di Pos Tiga Gunung Bawakaraeng

Baca Juga


Ilustrasi (dok: https://www.kompasiana.com/1967)
Jelang tengah hari di Juni 1978, Noni, gadis periang si pendaki  telah berada di Pos 3 menuju puncak Gunung Bawakaraeng.  Ia lebih duluan  tiba pada ketinggian 2883 m dpl (diatas permukaan laut)  itu dari teman-teman pencinta alamnnya. Ia buktikan bahwa perempuan bisa tong ji kuat.

“Mudah-mudahan Noval yang tiba lebih duluan.”

Kata hati Noni, harapkan kekasihnya itu yang lebihdulua tiba dari yang lain. Ada sesuatu yang ingin disampaikan wanita berambut sebahu itu. Ia ingin memberikan kecupan pertama pada Noval, bukan di tangan, sebagaimana biasa ia lakukan pada senir pendakinya itu. Tetapi bibir sensualnya akan dilengketkan di bibir Noval di bawah kumis tipis.

Benar saja, dari sela-sela rimbun pepohonan, pria gondrong dengan ikat kepala muncul. Noni sangat mengenal rambut gondrong yang ikal itu, milik noval pujaannya. Lalu semakin mendekat, tubuh atletis itu semakin nyata.
“Noni, yang lain masih tertinggal di bawah. Ridwan sakit perut.”
Suara Noval sedikit tertahan, ia perlu atus napas. Bukan karena letih melangkah menuju ketinggian Gunung Bawakaraeng, tetapi jatungngnya memburu saat Noni, melangkah mendekati dirinya. Semakin dekat hingga dada mereka nyaris bersentuhan.

“Noval.”

“Noni.”

Keduanya  saling menyebut  nama lalu terdiam. Entah apa terjadi, tiba-tiba saja Noval mengerang kesakitan sadarkan diri. Matanya melihat kelililing, ruangan bercat putih dengan lampu-lampu terang.

//

“Jangan banyak bergerak. Kakinya baru saja  dikasi gips,”
Seorang wanita berpakaian putih-putih menenangkan Noval yang gelisah menahan sakit. Ia belum sepenuhnya paham, tiba-tiba seluruh tubuhnya terasa nyeri dan kepalanya masih pusing.

“Anda baru saja terjatuh dari motor.”

Perawat itu kembali tenangkan kasadaran Noval kemudian memperbaiki slang infus yang melekat di  pungung telapak tangan Noval. Noval mulai mengingat, bukankah ia baru saja pulang dari rumah Noni di jalan Gunung Bawakareng, Kota Makassar.

//

Pria separuh baya itu tidak bisa menolak ketika teman-teman sehobbynya, mendaki gunung, menyebutnya Bujang Lapuk  Kepala Batu, alias Bulangkepat. Karena ia memang mempertahankan kesendiriannya, semenjak mengalami trauma berat pada Pos 3 menuju puncak Gunung Bawakaraeng.  Di tengah kabut dan angin kencang, kekasihnya Noni, menghilang.

Noni  baru diketemukan sehari kemudian  oleh warga pencari kayu. Kondisinya cukup mengenaskan, ia tersangkut di sebuah pohon besar. Pada situasi  ini Noval  tidak dapat kendalikan diri, hatinya hancur berkeping-keping ditinggal sang kekasih.

Untuk mengobati sakitnya, Noval memilih untuk tinggal di Jalan Gunung Bawakaraeng. Sepulang kerja sebagai redaktur  pada salah salah atu harian di kotanya. Ia banyak menelusuri  jalan protokol itu mencari wanita-wanita single yang bernama Noni. Tidak terkecuali mengaduk-gaduk nama warga yang ada di kelurahan setempat.

Ratusan Noni telah diketemukannya, namun semuanya telah bersuami. Itulah yang membuatnya menjadi pria Bulangkepat. Hingga akhirnya bertemua  janda beranak satu di sebuah warung kopi. Ternyata, janda ini adalah pemilik warung.
Dua, tiga bulan Noval, sepulang kerja, ia habiskan waktunya di warung kopi janda beranak satu itu. Namun ia tidak pernah berkenalan secara lansung. Yang membuat  Noval menghabiskan waktu luangnya di warung itu adalah senyum pemiliknya. Kayak senyum pendaki gunung,  tajam dan membus kabut.

“Dimanaki tinggal.”

“ Di jalan Gunung Bawakaraeng.”

“Oh, samaki itu.”

Karena warung kopi itu mau tutup, tinggal Noval satu-satunya pelanggan yang belum habiskan kopinya. Makan pemilik warung berbasa-basi, Tanya tempat tingga Noval. Kala itu hujan lagi deras mengguyur bumi.

“Sama siapaki pulang.”

“Sendiri.”

“Ada yang jemputki.”

“Tidak ada.”

Pemilik warung lalu ceritakan kalau ia hanya tinggal berdua dengan anaknya. Suaminya meninggal dalam sebuah tragedi di Gunung Bawakaraeng. Ketika hamil muda, ia ingin berdua dengan suaminya di Pos 3 Gunung Bawakaraeng dimana mereka untuk pertama kalinya rasakan kecupan bibir. Namun suaminya hilang saat kabut dan angin kencang.

“Jadi dulu, waktu masih mudaki, pendaki gunungki juga.”

“Betul, almarhum suamiku juga pendaki gunung.”

Obrol punya obrol antara Noval dan pemilik berjalan. Hingga keduanya tidak sadar, kalau malam telah larut. Hujan juga terus mengguyur bumi, bersambung-sambung.

“Saya Noval.”

Noval perkenalkan diri, bahwa ia juga pendaki gungung di waktu muda. Memilih untuk membujang karena kehilangan kekasih di Gunung Bawakaraeng. Ia juga memilih tinggal di jalan Gunung Bawakaraeng untuk mengenang kekasih yang disayanginya itu.

“Saya Noni.”

Pemilik warung juga perkenalkan diri, keduanya bersalaman tanda perkenalan dimulai, saat Noni mulai menutup pintu-pintu warung kopinya, noval beranjak hendak pamit. Namun Noni menahannnya dengan menarik tangan Noval masuk warung kembali.

“Samapaki pulang.”

“Hujanki.”

“Tidak apa-apa kita berhujan-hujan saja.”

Keduanya sepakat boncengan disaat hujan masih deras. Dalam suasana basah kuyup, Noval merasakan telah menemukan Noninya kembali. Sentuha halus di punggung membuatnya  yakin, Noni inilah yang dicari-carinya  selama ini. Ia rasa hidupnya, lebih hidup lagi. Apalagi saat Noni, melingkarkan kedua tangan di perutnya, membuat, hidup lebih hidup dan semakin  tegar menembus hujan.
Amping Lau,  21 Desember
Sumber: https://www.kompasiana.com/1967

No comments:

Post a Comment

Komentar

Hak Cipta: @lenterasulawesi . Powered by Blogger.