Baca Juga
ilustrasi (https://www.kompasiana.com/1967) |
Dalam
pelayaran ke negeri Cina, mencari We Cudai, saudara angkatnya, We Tenriabang
yang malirupa, Saweigadin sang pangeran tampan dari kerajaan Luwu, cucu dari
Batara Guru dan Putra Batara Lattu, temukan selembar kain yang mengapung di
lautan.
"Juru
mudi, belokkan kapalmu. Periksaa apa itu yang terapung dan warnanya menyilaukan
mata."
"Iyye
puang."
Seketika
itu juga pengawal-pengawal sang pangeran mengambil galah dan menjolok kain yang
berwarna ungun itu. Kemudian dengan cepat dikiba-kibaskan, lau diserahkan
kepada Sawerigading.
Sawerigading
yang menerima kain itu lantas memeriksanya dengan teliti. Ternyata selembar
sarung tenun yang cantik. Warnanya merah muda bermotif dau-daun putih.
"Sungguh
halus kain ini pengawal. Apakah engkau pernah menemukan yang sama dengan
ini."
"Tidak
puang, hamba barusan melihat sarung seindah ini."
"Tapi
siapa kira-kira pemiliknya, pengawal."
"Tidak
tahu puang, karena ditemukan di tengah laut ini saja."
"Apakah
sarung itu milik putri duyung pengawal."
"Bukan
puang, putri duyung selalu telanjang kayaknnya."
"Ha
ha ha ha ha, kau itu pengawal."
Sawerigading
tidak bisa menahan ketawanya dengar kata-kata dari sang pengawal. Ia rupanya
sangat serius membahas sarung berwarna cantik itu. Lalu diperintakannya kepada
pengawalnya yang lain untuk mencuci sarung itu dengan air tawar, kemudian
dikeringkan.
//
Malam
itu, suasana air laut tenang sekali, bintang terang di atas langit yang biru,
namun bulan tak nampak. Tampak Sawerigading berdiri di buritan menatap ke atas.
Pikirannya melayang, melayang entah kemana. Tiba-tiba ia ingat sarung merah
mudah itu.
"Pegawal,
mana itu sarung."
Iyye
puang, ada, sudah dilipat dengan baik."
"Bawa
masuk ke bilikku."
Sawerigading
kemudian berlalu masuk balik. Rupanya keindahan langit dengan jutaan bintang
yang bersinar, redup seketika. Apalagi bulan memang tidak nampak malam itu.
Saat
ia terima sarung merah jambu itu dari pengawal, Sawerigading buru-buru membuka
lipatannya. Aneh, sarung itu menebarkan aruma harum bunga melati. Ia menduga,
pengawalnya yang telah menaburi harurum-haruman sarung misterius itu.
Semaki
larut, semakin tak jemu Sawerigading
menimang dan melihat sarung temuanya itu. Hingga terlelap, pria gagah perkasa
ini, sarung itu ikut terlelap dalam pelukannya.
//
Sawerigading
bangun kesiangan, ia terlambat keluar dari bilik untuk melihat apa yang
diperbuat para pengikutnya. Semalam ia bermimpi ditagih oleh seorang perempuan
cantik berpakaian sangat indah.
"Aku
Ratu Ngilinayo. Kembalikan sarungku."
Bagitu
kata wanita itu sambil mengulurkan tangannya hendak mengabil sarung dalam
pelukan Sawerigading. Namun Sawerigading tidak memberikannya. Ia cukup sibuk memandang kecantikan wanita
dan jatuh cinta. Ia lupakan pelayaran ke negeri Cina, ia lupakan We Cudai.
Senyum wanita bekulit putih membuatnya pening. Rambut indah wanita itu
terjuntai sepanjang badan yang menawan.
//
"Pengawal.
Panggil Nahkoda kemari."
Saat
Sang Nahkoda telah di hadapan Sawerigading, pangeran tampan ini, ceritakan
mimpinya. Pemilik sarung itu ternyata wanita cantik bernama Ratu Ngilinayo.
"Nahkoda,
arahkan kapalmu ke daratan terdekat. Cari tahu, siapa Ratu Ngilinayo. Saya,
Sawerigading pangeran dari Tana Luwu inginkan wanita itu. Kalau ia masih gadis,
lamar untuk kejadikan permaisuriku. Kalau ia telah bersuami, jangan peduli.
Kita perang."
Perintah
Sawerigading dengan nada tinggi membuat sang nahkoda bagaikan disambar petir di
siang bolong. Ia membayankan betapa sulit menjalankan perintah tuannya itu.
Tetapi, ia tidak boleh menyanggah. Itu harga mati yang harus dilaksanakannya.
Seketika
itu sang nahkoda perintah juru batu untuk memanjat dan meneropong dimana ada
tanda-tanda daratan. Benar saja, juru batu menemukan sebuah nokta hitam di
sebelah barat.
Kapal
Sawerigading pun berlayar ke barat menuju titik hitam yang ditunjuk juru batu.
Ketika itu, Sawerigading hanya mengurung diri dalam bilik bersama sarung merah
jambu temuannya. Seolah sakit karena putau, sang pangeran melamun.
Ratu
Ngilinayo, sedang tidur terlentang dengan pakaian yang luar biasa seksi. Saking
tipisnya baju tidur yang dikenakan, tarikan napas sang ratu seolah nampak di
tenggorokan. Jangan ditanya, seperti apa indahnya, betis-betis ratu yang hanya
dibalut dreas panjang dan setipis kulit bawang yang bening. Makin ke atas,
makin membuat, jantung berdetak kecang. Semakin terus ke atas, napas
Sawerigading berhenti berdetak.
"Daratan,
daratan, daratan."
Teriakan
juru batu dari atas tiang utama, membuat gaduh seluruh kapal. Sawerigading ikut
terusik dari lamunannya. Iapun keluar dari bilik.
"Ada
apa nahkoda."
"Kita
sudah mencapai daratan puang."
"Ya,
berlabuhlah nahkoda."
Saat
kapal sudah merapat, nahkoda perintahkan buang jangkar. Lalu laporkan ke
Sawerigading kalau mereka telah mencapai daratan. Ia menunggu perintah
selanjutnya.
"Di
tempat kita berlabuh ini kuberi nama
Langgalopi."
Lalu
Sawerigading kemudian perintahkan nahkoda bersama sejumlah prajurit untuk cari
tahu apa nama tempat itu. Sekaligus mencari tahu dimana keberadaan perempuan
yang bernama Ratu Ngilinayo.
Bagaikan
pucuk dicinta, ulam tiba, nahkoda melaporkan. Kalau tempat adalah sebuah
kerajaan besar bernama Donggala. Rajanya bernama Ratu Ngilinayo.
Sawerigadingpun
hendak temui sang ratu dan menyampaikan lamarannya. Namun sebelum itu ia
perintahkan dulu nahkoda bersama pengawalnya untuk menghadap ratu, sampaikan
keinginannya. Tak lupa pula mereka juga
membawa sejumlah barang perhiasan dan pakaian. Itu sebagai tanda persahabatan
yang akan diserangkan ke ratu.
//
Ratu
Ngilinayo, bersedia menerima kedatangan pangeran dari Tana Luwu itu. Namun ia tidak bersedia dilamar
oleh Sawerigading. Karena Ratu Ngilinayo telah ditunangkan dengan kerabatnya
dari Kerajaan Sigi.
Untuk
pertama kalinya, Sawerigading tidak marah besar mendengar Ratu Ngilinayo tidak
bersedia dilamar olehnya. Tetapi bukan Sawerigading namanya kalau menyerah
begitu saja. Diam-diam pangeran tampan ini akan datang sendiri menemui sang
ratu. Tentu dengan cara dan kesaktiannya sendiri.
//
Ratu
Ngilinayo, sambut dengan hangat kedatangan Sawerigading. Ratu cantik inipun
diam-diam jatuh hati pada putra Batara Lattu. Namun apa hendak dikata, ia telah
bertunangan bala bencana akan terjadi kalau dipaksakan.
"Terima
kasih, kakanda Sawerigading telah sudi singgah di kerajaan kami yang kecil dan
hina ini. Sungguh terhormat rasanya, menerima kedatangan kakanda."
Sawerigading
tersanjung oleh tutur kata ratu yang sopan dan tulus. Semakin bertambahlah rasa
cintanya pada wanita ini.
"Apakah
adinda ratu bersedia menerima pinangan saya."
Ratu
Ngilinayo tidak menjawab, tetapi ia ceritakan kalau dirinya sudah bertunangan
dengan pangeran dari Kerajaan Sigi. Itu membuat Sawerigading marah dan akan
memerangi Kerajaan Sigi.
"Sabar,
kakandaku Sawerigading. Engkau tidak boleh memaksakan kehendak."
"Tidak,
Ratu Ngilinayo!"
Melihat
tekad Sawerigading yang tidak bisa disanggah lagi, ratu kemudian mendekat dan
membisikka sesuatu ke telinga Sawerigading. Seketika itu juga amarah pengeran
dari selatan ini menurun.
Rupanya,
ratu katakan. Apakah karena sarung itu membawanya ke Donggala. Itu pertanda,
ratu akan bersedia sesarung bersamanya, kelak. Paling tidak bagi anak cucu dari
Sawerigading dan Ratu Ngilinayo.
Catatan: kesamaan nama dan
tempat adalah kebetulan belaka, semua
itu adalah rekaan penulis semata
Makassar,
7 Januari 2018
sumber: https://www.kompasiana.com/1967
No comments:
Post a Comment
Komentar