Baca Juga
Oleh: Enis
Enis |
Adapun jarak antara Pasangkayu - Donggala sekitar
90 kilometer. Saat kendaraan kami DD 1373 VJ di wilayah pegunungan Salobomba,
Kabupaten Donggala, saya pelankan kendaraan karena tiba waktu Maghrib yang
jarak Kota Donggala tinggal kisaran 12 kilometer, dan mobil kami seperti diayun
kekiri-kekakanan dan para pengendara roda 2 yang melintas melaju kencang
terjatuh sementara roda 2 berjalan pelan langsung memarkir kendaraannya untuk
mengecek kendaraan masing-masing dan belum tahu apa yang terjadi.
Saat tiba diujung penurunan jalan trans Sulawesi
dan sudah memasuki Perkampungan Salobomba dimana Salobomba berada di pesisir
pantai Selat Makassar, wargapun berlarian ingin menyelamatkan diri menuju ke
atas gunung. Mereka (warga) menangis dan histeris teriak kalau mereka semua
harus secepatnya mengungsi ke gunung (dataran tinggi) sebab terjadi bencana
gempa dan informasi warga kalau di Kota Palu telah terjadi tsunami.
Sayapun baru tersadar kalau saat saya rasakan
mobil seperti diayun sesat lalu itu akibat gempa. Istri dan anak saya, saya
suruh kebelakang untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sebab saya
lihat tiang listrik di sepanjang jalan banyak yang berjatuhan walau ujungnya
belum menyentuh tanah disebabkan kabel listrik yang menahan beban tiang
tersebut termasuk dahan pohon juga banyak berserakan di jalan.
Beberapa kendaraan di depan dan belakang saya,
semuanya berjalan pelan karena banyaknya hambatan di jalan. Saya melihat ke
kiri-kanan, beberapa bangunan rubuh, ada bangunan rumah hanya terasnya saja
rubuh dan ada juga rata dengan tanah.
Saya juga menyaksikan isak tangis warga di
sepanjang jalan, ada yang berteriak agar sanak saudaranya yang tertimpa
reruntuhan bangunan untuk di evakuasi, sementara anak-anak dan orang tua jompo
di papa oleh keluarganya untuk mrnyelamatkan diri.
Saat saya tiba di Kota Donggala sekitar pukul
19.00 malam, pada umumnya kendaraan menuju luar kota ke gunung Ganti mengungsi.
Dalam Kota Donggala sendiri seperti kota tak berpenghuni dan saat saya tiba di
Tanjung Batu, kendaraan tidak bisa lewat dan saya putar balik naik ke atas
gunung Bale.
Setibanya diatas gunung Bale, ternyata sudah
banyak kendaraan dan pengungsi. Sayapun mulai cemas keberadaan anak dan
keluarga saya, sementara jaringan handphone seluler sudah tidak berfungsi lagi
ditambah gelap gulita karena jaringan instalsi listrik PLN juga alami gangguan.
Saya bersama istri kemudian menuju belakang kantor
Dinas Pariwisata untuk cari tahu keberadaan mereka (keluarga), dan kami
dapatkan informasi kalau keluarga dievakuasi ke lapangan belakang kantor
Koramil.
Setibanya di lapangan yang di maksud, beberapa orang
pengungsi katakan kalau keluarga kami di tempat oengungsian belakang kantor
DPRD, sayapun bergegas kesana, dan setibanya ditempat pengungsian lagi-lagi
keluarga belum saya dapatkan.
Saya terus cari tahu tempat pengungsian keluarga
saya, dan sekitar pukul 21.00 di Kampung Mente, Alhamdulillah saya bertemu
dengan anak saya si bungsu dan keluarga serta para pengungsi lainnya yang masih
merasa cemas karena setiap saat terjadi gempa susulan dan merekapun (pengungsi)
bersahut-sahutan mengumandangkan takbir Allahu Akbar setiap terjadi gempa
susulan.
Jumat malam itu, diberbagai tempat pengungsian,
warga Donggala sangat cemas dan memilukan. Betapa tidak, setiap saat terjadi
gemp susulan oara pengungsi cemas, sementara warga pengungsi hanya menggunakan
alas apa adanya diberbagai tempat pengungsian tampa adanya perlatan untuk
berteduh, sementara hujan gerimis turun sekitar pukul 23.00 dan berhenti
kemudian gerimis lagi sekitar pukul 03.00 dini hari.
Bayangkan kalau pembaca ada ditengah-tengah
pengungsi saat itu, betapa cemas dan memilukannya para pengungsi bencana gempa
di Donggala khususnya bagi anak-anak dan orang tua jompo.
(*)
No comments:
Post a Comment
Komentar