Cari di Blog Ini

Followers

Saturday, March 30, 2019

Prahara di Uwentira

Baca Juga

Ilustrasi
Ilustrasi

Meskipun sudah memasuki semester akhir, tetapi sebagai mahasiswa pindahan ke sebuah perguruan tinggi ternana di Kota Palu.Aku harus bersosialisasi banyak. Juga haru mempelajari adat istiadat masyarakat Kaili, sebagai akar budaya di kota yang terkenal dengan jembatan kuningnya ini.

“Eh, perkenalkan, nama saya Tiro, mahasiswa yang baru pindah dari Makassar.”
“Oh, iyya, saya Tira.”

Kucoba menawarkan salam damai  pada seorang mahasiwi yang sementara memilih-milik buku di rak perpustakaan kampus. Mungkin juga sudah nasib baik, sebab wanita menyambut  uluran tanganku, hangat pula caranya.

“Kamu mengikuti saya dank, ke rak buku-buku sastra.”
“Tidak, kebetulan saja saya juga  menyukai buku-buku tentang budaya dan sastra.”

Aku mengelak, padahal memang secara terus menerus ekor mataku dari tadi perhatikan wanita ini, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku merasa wanita itu cukup cantik. Rambutnya panjang berlekuk hingga ke punggung, kulitnya putih, namun badannya sedikit pendek tapi padat.

“Ada apa dank, kau melihatku seperti itu.”

Wanita bernama Tira itu, menangkap basah diriku melihat  hidungnya yang pesek seksi. Tentu membuatku jadi kikuk dan mengalihkan pandanga ke bawa. Tapi lagi-lagi membuatku semakin grogi, karena yang aku pandang adalah paha terbalut  jeans ketat. Wow wow.

“Kenapa dank.”
“ Tidak. Kenapa namamu seperti merek jeans, Tira.”
“Ih, namamu juga lucu, Tiro.”

Tira tertawa manis perlihatkan barisan giginya putih bak mutiara. Hemm, bibirnya yang disapu gincu natural, sangat indah, tipis tidak, tebal pun tidak. Pokoknya, selangit sensualnya.

“Ya, Tiro, itu kependekan dari  real name-ku, Melihat Daeng Tiro.”
“Ko, Melihat Daeng Tiro. Pantas dank, dari tadi kamu melihat terus aku.”

Aku mulai tertawa kecil juga, tentu saja ketawaku manis pula. Ibuku bilang, kalau aku tertawa sangat ganteng. Karena di atas bibirku itu ada kumis tipis yang menawan. Kata ibuku pula, kulitku memang khas pelaut Makassar, sawo matang. Badanku juga padat dengan tatapan mata yang tajam namun penyayang.

“Melihat Daeng Tiro itu pemberian dari  kedua orang tuaku. Kata Melihat, aku rasa Tira sudah tahu kan artinya, Daeng itu artinya kakak, itu biasa dipakai orang-orang Makassar. Kalau kata Tiro, ya Bahasa Makassar, artinya melihat.”

Tira bukan lagi tersenyum, tetapi tertawa terpingkal-pingkal, badannya bergoyang. Bahkan secara reflex ia memukul pinggangku, mungkin karena senangnya. Aku terima pukulan Tira dengan dada bergemuruh, begitu lembut jari-jari itu mendarat di pinggang.

“Kalau nama lengkapku, Uwentira Putri, biasa dipanggil Tira, begitu.”

Cukup cepat  juga diriku akrab dengan gadis  berdarah Kaili ini. Tapi biarlah, aku memang sedang jomblo ditinggal pacar yang menikah dengan anggota DPRD familinya. Rasa-rasanya, aku mau saja jadi pacar Tira kalau Yang Maha Esa takdirkan.

//

Dua pekan aku mengenal Tira, aku rasa wanita sangat baik. Ia juga telah mengajak ke tempat-tempat kumpulnya anak muda di Kota Palu, seperti warkop-warkop ternama. Dengan gadis itu, telah ber-selfi di Jembatang Kuningnya Palu. Tak lupa pula ia ajak aku makan Kaledo, sop tulang sapi kalau di Makassar disebut Konro.

Anehnya, meskipun kami  begitu dekat, aku tidak pernah berani katakan cinta pada Tira. Ia juga tidak pernah bertanya, apakah aku mencintai dirinya. Tak apalah, kurasa diriku sudah nyaman saja bersama gadis ini. Tanpa cintapun kami bisa jalan bareng kemana saja di kota ini.

“Tira, apakah pacarmu tidak marah, kalau kita bersama terus.”
“Tidak, kalau kamu. Adakah pacar di Makassar.”
“Tidak, aku tidak punya pacar.”
“Kalau aku punya calon suami di kampung.”

Huk, puhhh. Kopi yang kuhirup termuntah lewat hidung. Bagai disambar petir di siang bolong, aku kaget mendengar kalau Tira sudah punya tunangan di kampung.

“Tenang saja dank.”

Dengan slang, “dank,” ala Kaili, Tira menyapu punggungku pakai telapak tangannya yang lembut. Aku kembali tenang dan mengisap dalam-dalam rokok kegemaranku. Walau peringatan pemerintah, merokok bisa merusak kesehatan, impotensi dan gangguan janin. Tetapi menurut teman-teman jurnalisku, merokok adalah bagian dari inspirasi dan semangat kerja.

Tira  terus perhatikan mulutku  bagaikan cerobong mini menumpahkan gumpalan asap. Gadis Kaili ini tahu kalau aku gelisah dengan perasaan tidak menentu. Tentu saja ini adalah kebodohanku, membocorkan perasaan.

“Tiro, apakah engkau mencintaiku.”

Pertanyaan Tira membuatku lega. Inilah pertanyaan yang berhari-hari aku nantikan dari mulut indah wanita ini. Tentu saja aku akan menjawabnya dengan pasti.

“Ya.”
“Betul atau benar.”
“Benar-benar betul.”

Baru kali ini kulihat wajah Tira merah padam. Ia remas  jari-jari tangan kirinya gunakan tangan kanan. Gadis ini merunduk ke lantai sambil memperhatikan jari-jari kakinya bergerak. Karena Tira memang senang buka sandal dan tempatkan telapak kaki di atasnya.

//

Meskipun Tira sudah jelaskan kalau dian punya tunangan di kampung, namun gadis ini tidak berubah sedikitpun rasa pertemanannya padaku.
Kami  terus jalani hari-hari sebagaimana biasanya. Teman-teman kampus bahkan mengira kami adalah sepasang kekasih.

Hingga suatu hari, Tira mengajakku ke kos putri tempat tinggalnya. Selama ini memang aku tidak pernah diajak. Aku juga tidak memaksakan untuk datang. Sebab, betapa gentingnya bila diriku dan dirinya berduaan dalam kamar.

Sampai di kos-kosannya tersebut, Tira mengajakku masuk. Ia lalu menutup pintu membuatku gugup. Tapi Tira tenang-tenang saja. Apakah wanita ini sudah mati rasa, tidak berdebar-debar bila berduaan lelaki dalam hujan deras mengguyur kota.

“Untung kita telah tiba. Kalau tidak, basah jadinya.”
“Ya.”

Aku menjawab singkat. Pikiran liarku mulai menjalar. Kalau aku dan Tira berduaan dalam kamarnya saat  hujan dan sunyi  begini. Lalu terjadi apa yang seharusnya terjadi pada anak cucu Adam yang berlainan jenis. Kemudian Hansip datang bersama masyarakat lalu menggiring kami ke penghulu. Murkalah semua keluargaku di Makassar.

“Tiro. Jika hujan tidak berhenti sampai besok.”
“Apakah biasa banjir di sini.”
“Tidak.”
“Lalu.”
“Ya, kamu harus bemalam dank.”

Aku semakin tidak mengerti jalan pikiran wanita ini. Naluri laki-lakiku terus berkeliaran, liar seperti alap-alap menantang angin di udara. Aku mencintai wanita ini. Menyayanginya dan tidak ingin menyentuh kehormatannya sebelum memilikinya secara resmi.

“Karena cuma satu tempat tidurku. Jika kamu bermalam ya, kita tidur berdua di atasnya dank. Apakah kamu mau.”

Dalam termangu, Tira mendekak dan memegang kedua tanganku. Aku perhatikan mukanya, masih seperti ketika bertemu pertama kali di perpustakaan kampus.

“Tiro, jujur saja. Akupun menyukai dan mencintaimu juga.”

Kami lalu saling menatap dan semuanya sirna. Astagfirullah, ingat  kutif syair lagu  lawas, entah dari Doel Sumbang atau  Iwan Fals.
 “ . . . malam larut dan dingin membuat kita lupa, hampir lupa segala-galanya . . . Hampir saja mahkotaku dan mahkotamu musna . . .. Namun  terlarang melakukan itu. . .”

Sampai ayam berkokok, mataku tak terpejam demi  berucap astagfirullah. Demi menjaga kehormatan wanita muda yang kini mulai tak berdaya di di depanku akibat kantuk yang menyerangnya. Dan baru saja mataku terlelap. . . “

//

“Hei, anak muda.”

Aku mengankat  wajah dan menengaha. Di atas singgahsana, seorang lelaki tampan berkumis. Ia kenakan mahkota emas dengan pakaian yang indah berkilauan.

“Tahu kamu, hukuman apa yang bakal diterima bila mencintai putri  Raja Uwentira.”
“Tidak tahu raja.”
“Kamu akan dihukum pancung.”
“Ampun raja. Kami saling mencintai.”

Ketakutan luar bisa membuat diriku terus minta ampun. Namun Raja Uwentira tidak akan hentikan hukumannya. Kepalaku akan dipancung. Lalu dua orang prajurit menyeretku ke alun-alun.

Saat aku berpasrah di depan algojo, menyiapkan leher bagian belakang untuk dipancung. Tiba-tiba tangan lembut menyapu punggungku. Aku tidak berani menoleh, biarlah pedang itu menebasku cepat.  Aku rela karena Tira

//

Tanga-tangan lembut  itu terus menyapu punggungku berulang-ulang. Hingga akupun tidak kuasa tidak menoleh. Ternyata Tira sudah berdiri di belakangku dengan senyum-senyum.

“Bagimana bukunya, enak di baca toh.”
“Iya.”

Tira lalu duduk di sampingku kemudian mengambil buku yang sementara kubaca itu. Pada sampul buku itu tertulis judul, Prahara di Uwentira. Sebuah novel yang diserahkan oleh Tira  padaku.

“Sebagai orang baru di Kota Palu ini, Tiro harus tahu itu Uwentira. Sebuah kerajaan jin yang luar biasa besarnya. Konon katanya Kerajaan  ini terletak di Kebun Kopi, sebuah hutan antara Kota Palu dan Kabupaten Parigi. Istana Kerajaan Uwentira itu terbuat dari emas. Saking hebatnya Kerajaan Uwentira, bala tentaranya kalau berkumpul bisa penuhi semua lautan yang ada di Indonesia ini. Dari kisah inilah orang tuaku terinspirasi hingga namaku, Uwentira Putri.”

Usai jelaskan tentang Uwentira, Tira mencubit pahaku keras sekali. Tapi cukup nikmat dan enak rasanya. Katanya biar aku sadar dari lamunan novel yang kubaca itu.
Makassar, 29 Desember 2017

Note: Kesamaan nama dan tempat  hanya kebetulan belaka,semuanya rekaan penulis semata. Sumber: https://www.kompasiana.com/1967

No comments:

Post a Comment

Komentar

Hak Cipta: @lenterasulawesi . Powered by Blogger.