Baca Juga
Ilustrasi |
Meskipun sudah memasuki semester akhir, tetapi sebagai
mahasiswa pindahan ke sebuah perguruan tinggi ternana di Kota Palu.Aku harus
bersosialisasi banyak. Juga haru mempelajari adat istiadat masyarakat Kaili,
sebagai akar budaya di kota yang terkenal dengan jembatan kuningnya ini.
“Eh, perkenalkan, nama saya Tiro, mahasiswa yang baru pindah
dari Makassar.”
“Oh, iyya, saya Tira.”
Kucoba menawarkan salam damai
pada seorang mahasiwi yang sementara memilih-milik buku di rak
perpustakaan kampus. Mungkin juga sudah nasib baik, sebab wanita menyambut uluran tanganku, hangat pula caranya.
“Kamu mengikuti saya dank, ke rak buku-buku sastra.”
“Tidak, kebetulan saja saya juga menyukai buku-buku tentang budaya dan sastra.”
Aku mengelak, padahal memang secara terus menerus ekor mataku
dari tadi perhatikan wanita ini, mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aku
merasa wanita itu cukup cantik. Rambutnya panjang berlekuk hingga ke punggung,
kulitnya putih, namun badannya sedikit pendek tapi padat.
“Ada apa dank, kau melihatku seperti itu.”
Wanita bernama Tira itu, menangkap basah diriku melihat hidungnya yang pesek seksi. Tentu membuatku
jadi kikuk dan mengalihkan pandanga ke bawa. Tapi lagi-lagi membuatku semakin
grogi, karena yang aku pandang adalah paha terbalut jeans ketat. Wow wow.
“Kenapa dank.”
“ Tidak. Kenapa namamu seperti merek jeans, Tira.”
“Ih, namamu juga lucu, Tiro.”
Tira tertawa manis perlihatkan barisan giginya putih bak
mutiara. Hemm, bibirnya yang disapu gincu natural, sangat indah, tipis tidak,
tebal pun tidak. Pokoknya, selangit sensualnya.
“Ya, Tiro, itu kependekan dari
real name-ku, Melihat Daeng Tiro.”
“Ko, Melihat Daeng Tiro. Pantas dank, dari tadi kamu melihat
terus aku.”
Aku mulai tertawa kecil juga, tentu saja ketawaku manis pula.
Ibuku bilang, kalau aku tertawa sangat ganteng. Karena di atas bibirku itu ada
kumis tipis yang menawan. Kata ibuku pula, kulitku memang khas pelaut Makassar,
sawo matang. Badanku juga padat dengan tatapan mata yang tajam namun penyayang.
“Melihat Daeng Tiro itu pemberian dari kedua orang tuaku. Kata Melihat, aku rasa Tira
sudah tahu kan artinya, Daeng itu artinya kakak, itu biasa dipakai orang-orang
Makassar. Kalau kata Tiro, ya Bahasa Makassar, artinya melihat.”
Tira bukan lagi tersenyum, tetapi tertawa terpingkal-pingkal,
badannya bergoyang. Bahkan secara reflex ia memukul pinggangku, mungkin karena
senangnya. Aku terima pukulan Tira dengan dada bergemuruh, begitu lembut
jari-jari itu mendarat di pinggang.
“Kalau nama lengkapku, Uwentira Putri, biasa dipanggil Tira,
begitu.”
Cukup cepat juga diriku
akrab dengan gadis berdarah Kaili ini.
Tapi biarlah, aku memang sedang jomblo ditinggal pacar yang menikah dengan
anggota DPRD familinya. Rasa-rasanya, aku mau saja jadi pacar Tira kalau Yang Maha
Esa takdirkan.
//
Dua pekan aku mengenal Tira, aku rasa wanita sangat baik. Ia juga telah mengajak ke tempat-tempat kumpulnya anak muda di Kota Palu, seperti warkop-warkop ternama. Dengan gadis itu, telah ber-selfi di Jembatang Kuningnya Palu. Tak lupa pula ia ajak aku makan Kaledo, sop tulang sapi kalau di Makassar disebut Konro.
Anehnya, meskipun kami begitu dekat, aku tidak pernah berani katakan
cinta pada Tira. Ia juga tidak pernah bertanya, apakah aku mencintai dirinya.
Tak apalah, kurasa diriku sudah nyaman saja bersama gadis ini. Tanpa cintapun
kami bisa jalan bareng kemana saja di kota ini.
“Tira, apakah pacarmu tidak marah, kalau kita bersama terus.”
“Tidak, kalau kamu. Adakah pacar di Makassar.”
“Tidak, aku tidak punya pacar.”
“Kalau aku punya calon suami di kampung.”
Huk, puhhh. Kopi yang kuhirup termuntah lewat hidung. Bagai
disambar petir di siang bolong, aku kaget mendengar kalau Tira sudah punya
tunangan di kampung.
“Tenang saja dank.”
Dengan slang, “dank,” ala Kaili, Tira menyapu punggungku pakai
telapak tangannya yang lembut. Aku kembali tenang dan mengisap dalam-dalam
rokok kegemaranku. Walau peringatan pemerintah, merokok bisa merusak kesehatan,
impotensi dan gangguan janin. Tetapi menurut teman-teman jurnalisku, merokok
adalah bagian dari inspirasi dan semangat kerja.
Tira terus perhatikan
mulutku bagaikan cerobong mini
menumpahkan gumpalan asap. Gadis Kaili ini tahu kalau aku gelisah dengan
perasaan tidak menentu. Tentu saja ini adalah kebodohanku, membocorkan
perasaan.
“Tiro, apakah engkau mencintaiku.”
Pertanyaan Tira membuatku lega. Inilah pertanyaan yang
berhari-hari aku nantikan dari mulut indah wanita ini. Tentu saja aku akan
menjawabnya dengan pasti.
“Ya.”
“Betul atau benar.”
“Benar-benar betul.”
Baru kali ini kulihat wajah Tira merah padam. Ia remas jari-jari tangan kirinya gunakan tangan kanan.
Gadis ini merunduk ke lantai sambil memperhatikan jari-jari kakinya bergerak.
Karena Tira memang senang buka sandal dan tempatkan telapak kaki di atasnya.
//
Meskipun Tira sudah jelaskan kalau dian punya tunangan di
kampung, namun gadis ini tidak berubah sedikitpun rasa pertemanannya padaku.
Kami terus jalani
hari-hari sebagaimana biasanya. Teman-teman kampus bahkan mengira kami adalah
sepasang kekasih.
Hingga suatu hari, Tira mengajakku ke kos putri tempat
tinggalnya. Selama ini memang aku tidak pernah diajak. Aku juga tidak
memaksakan untuk datang. Sebab, betapa gentingnya bila diriku dan dirinya
berduaan dalam kamar.
Sampai di kos-kosannya tersebut, Tira mengajakku masuk. Ia
lalu menutup pintu membuatku gugup. Tapi Tira tenang-tenang saja. Apakah wanita
ini sudah mati rasa, tidak berdebar-debar bila berduaan lelaki dalam hujan
deras mengguyur kota.
“Untung kita telah tiba. Kalau tidak, basah jadinya.”
“Ya.”
Aku menjawab singkat. Pikiran liarku mulai menjalar. Kalau aku
dan Tira berduaan dalam kamarnya saat
hujan dan sunyi begini. Lalu
terjadi apa yang seharusnya terjadi pada anak cucu Adam yang berlainan jenis.
Kemudian Hansip datang bersama masyarakat lalu menggiring kami ke penghulu. Murkalah
semua keluargaku di Makassar.
“Tiro. Jika hujan tidak berhenti sampai besok.”
“Apakah biasa banjir di sini.”
“Tidak.”
“Lalu.”
“Ya, kamu harus bemalam dank.”
Aku semakin tidak mengerti jalan pikiran wanita ini. Naluri
laki-lakiku terus berkeliaran, liar seperti alap-alap menantang angin di udara.
Aku mencintai wanita ini. Menyayanginya dan tidak ingin menyentuh kehormatannya
sebelum memilikinya secara resmi.
“Karena cuma satu tempat tidurku. Jika kamu bermalam ya, kita
tidur berdua di atasnya dank. Apakah kamu mau.”
Dalam termangu, Tira mendekak dan memegang kedua tanganku. Aku
perhatikan mukanya, masih seperti ketika bertemu pertama kali di perpustakaan
kampus.
“Tiro, jujur saja. Akupun menyukai dan mencintaimu juga.”
Kami lalu saling menatap dan semuanya sirna. Astagfirullah,
ingat kutif syair lagu lawas, entah dari Doel Sumbang atau Iwan Fals.
“ . . . malam larut dan
dingin membuat kita lupa, hampir lupa segala-galanya . . . Hampir saja
mahkotaku dan mahkotamu musna . . .. Namun terlarang melakukan itu. . .”
Sampai ayam berkokok, mataku tak terpejam demi berucap astagfirullah. Demi menjaga
kehormatan wanita muda yang kini mulai tak berdaya di di depanku akibat kantuk
yang menyerangnya. Dan baru saja mataku terlelap. . . “
//
“Hei, anak muda.”
Aku mengankat wajah dan
menengaha. Di atas singgahsana, seorang lelaki tampan berkumis. Ia kenakan
mahkota emas dengan pakaian yang indah berkilauan.
“Tahu kamu, hukuman apa yang bakal diterima bila mencintai
putri Raja Uwentira.”
“Tidak tahu raja.”
“Kamu akan dihukum pancung.”
“Ampun raja. Kami saling mencintai.”
Ketakutan luar bisa membuat diriku terus minta ampun. Namun
Raja Uwentira tidak akan hentikan hukumannya. Kepalaku akan dipancung. Lalu dua
orang prajurit menyeretku ke alun-alun.
Saat aku berpasrah di depan algojo, menyiapkan leher bagian belakang untuk dipancung. Tiba-tiba tangan lembut menyapu punggungku. Aku tidak berani menoleh, biarlah pedang itu menebasku cepat. Aku rela karena Tira
//
Tanga-tangan lembut itu
terus menyapu punggungku berulang-ulang. Hingga akupun tidak kuasa tidak
menoleh. Ternyata Tira sudah berdiri di belakangku dengan senyum-senyum.
“Bagimana bukunya, enak di baca toh.”
“Iya.”
Tira lalu duduk di sampingku kemudian mengambil buku yang sementara
kubaca itu. Pada sampul buku itu tertulis judul, Prahara di Uwentira. Sebuah
novel yang diserahkan oleh Tira padaku.
“Sebagai orang baru di Kota Palu ini, Tiro harus tahu itu
Uwentira. Sebuah kerajaan jin yang luar biasa besarnya. Konon katanya Kerajaan ini terletak di Kebun Kopi, sebuah hutan
antara Kota Palu dan Kabupaten Parigi. Istana Kerajaan Uwentira itu terbuat
dari emas. Saking hebatnya Kerajaan Uwentira, bala tentaranya kalau berkumpul
bisa penuhi semua lautan yang ada di Indonesia ini. Dari kisah inilah orang
tuaku terinspirasi hingga namaku, Uwentira Putri.”
Usai jelaskan tentang Uwentira, Tira mencubit pahaku keras
sekali. Tapi cukup nikmat dan enak rasanya. Katanya biar aku sadar dari lamunan
novel yang kubaca itu.
Makassar, 29 Desember 2017
Note: Kesamaan
nama dan tempat hanya kebetulan
belaka,semuanya rekaan penulis semata. Sumber: https://www.kompasiana.com/1967
No comments:
Post a Comment
Komentar