Cari di Blog Ini

Followers

Friday, October 16, 2015

Danau Lindu, Simbol Asmara Sawerigading di Tana Kaili?

Baca Juga

Ilustrasi: dok, lenterasulawesi.com



Sawerigading adalah pangeran Tana Luwu – salah satu kerajaan dari tellumpoccoe dalam imperium  tiga kerajaan besar di Sulawesi diantara Kerajaan Bone dan Gowa. Ia adalah putra dari Batara Guru (anak Patotoe yang turun dari langit) bersama We Nyiliktimo (putri cantik yang lahir dari pratiwi atau bumi)

Karena ketampanan dan ketinggian ilmu, nama Sawerigading dikenal seantero jagat, itu disebut-sebut dalam epos Sure Galigo, karya sastrawan dunia, Colli Pujie, asal Pancana (sekarang Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan).

Selain rupawan, disenangi banyak wanita, Sawerigading adalah pecinta sejati yang mampu menurutkan  kehendak asmaranya. Hingga kembar emasnya yang bernama We Tenriabeng, sempat pula dicintainya. Namun ia dikutuk karena cintanya yang pamali ini.

Mengobati cinta terlarang itu, lewat wangsit  Sawerigading mengembara ke negeri  lain mencari We Cudai. Wanita cantik yang setali tiga uang dengan kembar emasnya, We Tenriabeng. Iapun menyunting gadis pujaannya itu setelah setelah melewati rintangan dan tantangan dalam pelayaran panjang ke Cina.
Usai berbulan madu dengan We  Cudai, Sawerigading kembali ke Timppotikka, dimana ia menjadi putra mahkota. Namun istrinya tidak dibawah serta.
Dalam pelayarannya kembali ke Tana Luwu, Sawerigading – disebut Saverigading dalam Bahasa Kaili  bersama singgahpun berlabuh di Teluk Kaili di  Pudjananti - Banava (Donggala), kemudian menuju ke pelabuhan Bangga dan Sigi sebagai pusat kerajaan Kaili yang dipimpin seorang ratu yang cantik jelita.

Mendengar cerita kalau Ratu Kaili tersebut  terkenal kemolekannya, Sawerigading  yang semula hanya sekedar singgah mengasoh dan hanya ingin mengambil air  tawar, berubah haluan. Ia pun berjalan lebih ke dalam menuju pusat  kerajaan Kaili tersebut. Entah apa yang terbersit di hati pangeran  tampan dari  selatan Sulawesi  ini.

Teki-teki gelora dalam dada Sawerigading belum terjawab sudah, sebuah kejadian luar biasa terjadi. Salah seekor anjing milik Sawerigading bernama La Bolong (bahasa Bugis, Bolong artinya hitam)  ikut pula berkeliaran di dataran Kaili tersebut.

La Bolong berjalan ke sebuah telaga hingga kakinya  terperosok menyentuh seekor belut raksasa yang sedang pertapa. Karena terusik, belut raksasa itu menari kaki La Balong dan terjadilah perkelahian seruh.

Kedua binatang bertubuh besar tersebut saling gigit, saling banting dan saling menjatuhkan.  Pertarungan  yang dahsyat  dalam  kubangan itu  sampai - sampai menimbulkan goncangan keras seolah gempa bumi.

La Bolong  akhirnya mampu menarik belut besar  tersebut keluar dari dalam telaga. Ceceran darah  keduanya  mengalir hingga bersama air yang melekat di tubuhnya menyerupai air bah yang tumpah.
 Masyarakat di pesisir  Sigi dan Bora serta sekitarnya menjadi ketakutan mendengar  gemuruh  yang disertai disertai banjir dan gempa. Bekas-bekas alur  belut  saat ditarik oleh  La Balong, itulah yang dianggap menjadi cikal-bakal terjadinya  Sungai Palu.

Hingga di  sebuah tempat di Kabupaten Sigi, La Bolong berhasil membunuh lawannya dan tempat dibenamkannya belut  raksasa itu  menjadi danau besar  yang kemudian hari disebut  Danau Lindu.

Penyebutan nama danau tersebut  diambil dari peristiwa  matinya belut raksasa, dimana  dalam Bahasa  Kulawi,  Lindu berarti  belut, sejenis  sogili yang merupakan salah satu  jenis ikan endemik danau-danau dataran tinggi di Sulawesi Tengah.

Karena peristiwa dasyat perkelahian La Bolong dan Lindu raksasa, Sawerngading mengurungkan niat menemui Ratu Kaili. Untuk mengenang kehadirannya di Tana Kaili, serta gemuruh dalam dadanya yang tak kesampain. Iapun membiarkan perahunya terdampar begitu saja di dataran Kaili yang mengesankannya tersebut.

Menurut  mitologi Kaili, perahu  Sawerigading  itu terdampar di Sambo (sekarang Kecamatan Dolo).  Hingga  di desa ini ada gunung yang kalau dipandang  dari  jauh menyerupai perahu, masyarakat setempat menyebutnya  Bulu Sakaya (gunung perahu). Kemudian layar perahu Sawerigading diterbangkan angin  ke sebelah timur lembah yang kini disebut  Bulu Masomba  yang berarti gunung yang menyerupai layar.

Entah bagaimana caranya pulang ke Tompotikka, di Tana Luwu. Pastinya Sawerigading menyimpan rasa yang mendalam atas persinggahannya di Tana Kaili. Entash asmara yang tak kesampain. Namun dikemudian hari anak cucu Sawerigading telah datang mempersunting gadis-gadis Kaili. Mungkin menjawab teka-teki dalam dada moyangnya tersebut. Dan kini Kaili  telah menjadi  bagian tak terpisahkan dari suku-suku yang menjadi cucu cicit  Sawerigading, Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, dan Enrekang.

(Ditulis: lentera Sulawesi.com  dengan bacaan pemerkaya: wikipedia.org, ilhamqmoehiddin.wordpress.com)




No comments:

Post a Comment

Komentar

Hak Cipta: @lenterasulawesi . Powered by Blogger.