Cari di Blog Ini

Followers

Sunday, October 18, 2020

Ketika Cinta Bersemi di Dada Pongka Padang dan To Rije’ne

Baca Juga

Ilustrasi

Pada sebuah gunung tinggi, sebelah barat Ulu Saddang, pemuda Pongka Padang, duduk menekur mengais tanah dengan kayu, menuliskan syair-syair sedih. Salah satu teman seperjalanan sekaligus pengawalnya meninggal di gunung yang tinggi itu.

“Kuberi nama tempat ini, Mambulilin.” Kata Pongka Padang sambil mengakat tangan menengada ke langit. Seketika itu guntur menderu disertai kilat yang menyambar.

Usai menguburkan pengawal setianya yang bernama Mambulilin itu, Pongka Padang melanjutkan perjalanan Bersama  Polopadang  pengawal satu-satunya masih tertinggal. Pangeran dari Ulu Saddang ini, ambil alih bawaan Mambuliling berupa kantong yang disebutnya “sepu” yang berisi  jimat-jimat, pakaian dan lain-lain.

Semakin ke Barat Daya lanjutkan perjalanan, akhirnya Pongka Padang tiba di sebuah tempat yang tinggi bernama “Buntu Bulo.”  Bersama dengan Polopadang, pengawal setianya  tersebut ia memutuskan untuk tinggal dan menetap. Dengan kekuatan magic yang di milikinya, tempat itu dibenahinya dengan cepat  hingga menjadi hunian yang indah dan menawan.

Setelah beberapa lama hidup dengan berkecukupan bersama pengawalnya Polopadang di Buntu Bulo, Pongka Padang rasakan kesunyian yang teramat dalam. Bagaimana tidak, ia hanya berdua dengan pegawalnya di belantara itu. Walau ia telah memiliki segalanya, namun naluri lelakinya tidak dapat dibendung. Ia membutuhkan pendamping hidup seorang wanita.

Pongka Padang memikirkan, bagaimana kalau ia telah tiada nanti sementara tidak ada satupun keturunannya. Tentu akan putuslah generasinya. Kepada siapa pula akan mewariskan pemukiman Buntu Bulo yang telah dibangunnya dengan susah payah.

Selama tuju hari tuju malam ia mengurung diri dalam bilik, membuat Polopadang bertanya-tanya, apakah yang telah menimpah tuannya tersebut. Maka dengan memberanikan diri  pengawal setia tersebut masuk dalam bilik.

“Apakah tuanku sakit.”

“Tidak Polopadang. Aku tidak sakit sama sekali.”

“Kenapa tuanku tidak mau makan dan hanya mengurung diri dalam bilik. Polopoadang  khawatir  tuanku akan sakit.”

“Ya, kalau dikatakan sakit, sakitlah perasaanku  ini. Aku tidak bisa meninggalkan tidurku. Aku selalu rindu untuk tidur dan bermimpi. Karena itulah obat dari sakitku ini.”

Lalu Pongka Padang ceritakan semua mimpi-mimpinya selama tuju hari tuju malam. Dalam tidurnya ia ditemui seorang perempuan berambut panjang terurai, hitam pekat berombang. Cantik dengan leher putih bersih bagaikan gading, matanya indah berbinar, bibirnya manis dengan tubuh semampai.

“Ia selalu mengulurkan tangannya kepadaku dengan senyum yang menawan Polopadang. Namun saat  aku sambut uluran tangannya, ketika jari-jari kami bersentuhan. Wanita itu menghilang dan akupun terbangun.”

Mendengar cerita tuannya tersebut, Polopadang menekur melihat lantai. Ia mulai tahu kalau Pongka Padang telah terkena tuba asmara. Tuannya itu telah jatuh cinta pada wanita dalam mimpinya. Namun apa daya, wanita itu tidak nyata dan dimana mencarinya.

“Polopadang. Adakah engkau telah temukan wanita yang telah aku ceritakan itu. Bukankah engkau telah berjalan mengeliling Buntu Bulo ini. Ataukau engkau telah melihat saat perjalanan kita kemari dari Ulu Saddang.”

“Tidak tuanku.”

Pongka Padang  turun dari tempat tidurnya dan berjalan ke luar bilik diikuti Polopadang. Pengawal setia ini, semakin khawatir, gerangan apa yang akan terjadi pada tuannya.

“Ambilkan pakianku dan semua kelengkapannya. Kita akan pergi mencari wanita yang ada dalam mimpiku itu. Andainya memang aku harus sampai ke ujung dunia, akupun aku akan mencarinya. Tidak ada gunung yang tinggi tak akan kudaki, tidak ada sungai yang dalam tak akan kuseberangi.”

Keduanya lalu berjalan lebih ke barat lagi, belantara dilintasinya, sungai-sungai diseberangi, hingga suatu ketika Pongka Padang hentikan langkahnya dan menoleh ke Polopadang.

“Polopadang, aku melihat asap. Panjatlah pohon yang tinggi itu. Lihat dari mana sumber asap itu.”

Dengan muka berseri, Polopada turun dari pohon yang tinggi dan sampaikan kepada Pongka Padang dari mana sumber asap itu. Iapun diperintahkan oleh majikannya untuk mendekati tempat  itu. Bahkan disuruhnya pula untuk minta isin sekedar singgah dan beristirahat.

Menanti pengawal setianya mencari tahu sumber  asap, hati Pongka Padang bertanya. Siapakah pemilik rumah yang mengeluarkan asap itu. Saat sibuk membathin, sang pengawal setia muncul.

“Polopadang, apakah yang telah kau lihat di sana.”

Dengan mangatur napas agar kembali teratur, sang pengawal menceritakan kalau dirinya telah menemukan dua orang di tempat itu, seorang lelaki dan seorang perempuan. Lelakinya tegak dan sangat rupawan, perempuannya berkulit kuning langsat dan cantik. Polopada belum pernah melihat wanita secantik itu selama hidupnya.

“Siapa nama perempuan itu.”

“To Rije’ne tuangku. Laki-lakinya bernama Pue Magondang. Keduanya bersaudara. Katanya mereka terdampar di tempat itu.”

“Apakah mereka membolehkan kita singgah untuk beristirahat di tempatnya.”

“Tidak tuanku. To Rije’ne tidak mau tempatnya dijadikan tempat persinggahan semata.”

“Lalu apa maunya mereka.”

Pongka Padang berdiri dari bongkah batu yang didukinya. Ia naik pitam, tongkatnya ditancapkan ke tanah. Tongkat  itu tumbuh menjadi Pohon Kayu Uru yang sangat besar dan rindang. Jenis kayu inilah yang kelak menjadi tiang utama rumah-rumah anak cucu Pongka Padang.

”Polopadang, apakah penghuni tempat itu tidak tahu kalau aku Pongka Padang, sang pengelana. Sudah  banyak  gunung gunung dan sungai hingga bisa sampai di daerah ini. Katakan nama saya yang sebenarnya, Puang Rilembong dari Ulu Saddang. Kembalilah ke tempat  itu, ajak mereka untuk tinggal di tempat kita, Buntu Bulo.”

Usai perintahkan pengawal setianya itu. Pongka Padang kembali ke Buntu Bulo. Sampai di rumahnya Pongka Padang banyak merenung, siapakah To Ri Je’ne, wanita cantik berambut panjang itu. Apakah wanita itu yang selalu hadir dalam mimpi-mimpinya. Andainya benar.

Benar saja, dari kejauhan tampak Polopadang berjalan seorang diri. Dengan tak sabar Pongka Padang sambut pengawalnya itu di depan pintu. Sang pengawal setia baru saja duduk, Pongka Padang bertanya cepat.

“Polopadang, apa yang disampaikan To Rije’ne.”

“To Rije’ne bersedia tinggal di Buntu Bulo, tuanku. Namun ia mensyaratkan tuaku harus datang dulu ke tempatnya yang bernama Kapusaan. Ia ingin berkenalan dangan tuanku lebih jauh lagi.”

Mendengar jawaban Polopadang, Pongka Padang bersedia datang ke Kapusaaan. Ia sangat gembira dan senang mendengar apa keinginan To Rije’ne. Saat itu juga Pongka Padang berkemas persiapkan segala sesuatunya.

Sampai di Kapusaang, Pongka Padang dan pengawalnya Polopadang disambut To Rije’ne. Saat  jari-jari tangan To Rije’ne menyentuh jari lelaki perkasa yang telah menaklukan gunung, lembah dan sungai itu. Pongka Padang tak dapat menahan haru dan gembira, saat  itu juga ia terkulai pingsan. Lalu Pue Magondang dan Polopadang mengangkatnya masuk dalam rumah, lansung ke bilik To Rije’ne.

Ketika kedua pegawal itu keluar, To Rije’ne membasu jari-jarinya dengan air dalam mangkuk  lalu di sampukan ke wajah Pongka Padang. Seketika itu juga mata Pongka Padang terbuka pelan, To Rije’ne kemudian mengangkat  kepala lelaki  itu dalam pangkuanya, kemudian membuka destarnya dan mengusap pelan rambut  Pongka Padang yang panjang. Dalam bathin, wanita cantik ini berguman.

“Inilah lelaki yang datang dalam mimpiku.”

Saat To Rije’ne sampaikan syukurnya kepada Dewata penguasa alam. Pongka Padang benar-benar telah siuman. Ia pun terduduk di depan To Rije’ne sambil mengusap mata dan bersyukur pula pada Dewata, wanita dalam mimpinya itu telah nyata di hadapannya.

“Siapakah nama tua.”

“Pongka Padang.”

“Saya To Rije’ne. Datang dari laut memakai perahu pada waktu air pasang. Perahu saya  karam di atas gunung ini. Saat air kembali surut,  tidak bisa lagi ditarik ke laut,  dan tinggal di gunung ini. Diberi nama To Rije’ne, artinya orang yang datang dari laut.”

Pongka Padang mengangguk. Namun ada rasa sesak yang membucah dalam dadanya. Ia ingin mungutarakan perasaannya, namun tak sanggup. Senyum manis To Rije’ne membuat lidahnya keluh.

 “Apakah gerangan keinginan tuan datang ke mari.”

Pongka Padang mengambil destarnya dan memperbaiki letaknya di kepala. Ia pun mengatur napasnya baik-baik. Ia tidak boleh gegabah di hadapan wanita impiannya ini.

“Aku menyukaimu, bagaimana kalau kita tinggal bersama di tempat saya yang lebih baik.”

“Aku pun demikian. Engkaulah yang telah lama kunantikan, telah hadir dalam mimpi-mimpiku Pongka Padang. Aku terima semua keinginanmu.”

Keduanya lalu berikrar untuk menjadi suami istri, itupun disambut dengan suka cita oleh Polopadang dan Pue Magondang. Keduanya pengawal setia itu membiarkan tuanya berdua dalam memadu kasih.

Setelah tiga malam Pongka Padang dengan Torije’ne’ bermalam bersama-sama di atas Gunung Kapusaang. Pongka Padang pun mengajak istrinya ke Buntu Bulo. Juga tiga malam di Buntu Bulo, Pongga padang pun bertanya kepada istrinya To Rije’ne. Di tempat manakan mereka akan tinggal menetap, di Gunung Kapusaang atau Buntu Bulo. To Rije’ne lebih menyukai Buntu Bulo. Lalu tinggallah mereka di tempat itu, kelak akan melahirkan anak cucu yang menjadi penghuni negeri yang disebut  Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babanna Binanga.

Catatan: kesamaan nama dan tempat adalah kebetulan belaka,  semua itu adalah rekaan penulis semata

Amping Lau, 1 Desember 2017

Sumber: Sumber: https://www.kompasiana.com/1967

No comments:

Post a Comment

Komentar

Hak Cipta: @lenterasulawesi . Powered by Blogger.